Characters/Pairing: Key,
Original Characters
Genre: Romance
(maybe)
Warnings: none
STRANGER
Aku menikmati semilir angin yang
meniup rambutku. Taman ini cukup ramai, ada beberapa anak yang sedang bermain,
pasangan yang sedang mengobrol, dan beberapa kakek dan nenek yang sedang
berjalan-jalan sore. Tapi karena aku sedang mendengarkan lagu dari earphone
yang terpasang di telingaku, aku tidak bisa mendengar suara mereka dengan jelas
dan aku tetap konsentrasi ke dunia ku sendiri.
Tiba-tiba, aku melihat seorang
gadis berjalan ke arahku. Matanya melirik ke arah lain, tapi pada akhirnya dia
duduk di sebelahku. Sepasang earphone terpasang di telinganya, sama sepertiku.
Dia terlihat sangat menikmati lagu yang sedang ia dengarkan sehingga ia tidak
peduli dengan hal lain.
Aku pun mencoba untuk tidak
memperdulikannya dan berkonsentrasi pada lagu yang sedang kudengarkan, tapi
pada akhirnya, aku tetap mencuri-curi pandangan ke arahnya. Senyumnya. Matanya.
Rambutnya.
“Maaf, apakah kau keberatan jika
aku duduk di sini?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengecilkan volume iPod ku
dan melepas sebelah earphone-ku. “Maaf, bisa kau ulangi perkataanmu tadi? Aku
tidak mendengarnya,” kataku.
“Apa kau keberatan jika aku duduk
di sini?” tanyanya lebih keras.
Aku menggeleng. “Ah, tidak. Tentu
saja tidak.”
“Kau terus-terusan melirikku
dengan sinis,” katanya.
“Kalau begitu, salahkan mataku.
Aku sudah memilikinya sejak lahir,” kataku.
Dia tertawa. “Ah, bukan, bukan.
Ini bukan karena matamu, kok. Meskipun kecil, tapi matamu bagus, seperti
kucing,” katanya sambil tersenyum ke arahku.
Aku menatap senyum itu. Bagaimana
bibirnya terbentuk ketika ia senyum, bagaimana matanya menyipit ketika ia
tersenyum, bagaimana sedikit giginya terlihat ketika ia senyum, dan yang paling
penting, bagaimana jatungku berdetak, darahku mengalir, dan otakku berhenti
berfungsi ketika melihat ia tersenyum.
Semenjak saat itu, aku tahu. Aku
menyukainya dan aku menginginkannya.
-=-=-=-=-=-=-=-
Malam itu, aku berbaring di
tempat tidurku. Mataku lurus menatap dinding, sementara pikiranku berada di
suatu tempat. Gadis itu. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya semenjak aku
bertemu dengannya tadi sore. Aku masih ingat ketika ia bilang mataku bagus dan
seperti kucing. Dan aku masih ingat ketika aku langsung menatap mataku dengan
lama di cermin sepulangnya aku dari taman itu.
Aku juga masih ingat bagaimana
perasaanku ketika melihat senyumnya. Dan bagaimana aku sudah memikirkannya
semenjak aku melihatnya.
“Ah, aku gila, aku gila, aku
gila!”
-=-=-=-=-=-=-
Keesokan harinya, aku pergi ke
taman itu lagi di waktu yang sama dan duduk di bangku taman yang sama, berharap
gadis itu akan datang lagi. Aku sudah duduk di sini sekitar lima belas menit
dan aku sama sekali belum melihatnya. Ah, bodoh! Bagaimana kalau dia tidak
datang ke sini setiap hari? Bagaimana kalau dia hanya datang kemarin saja?
Kenapa aku berharap bisa bertemu dengannya sekarang?
“Hai.”
Aku menoleh. Dan di sana dia.
Duduk di sebelahku, dengan earphone terpasang, dan tersenyum kepadaku.
“Kau datang ke sini setiap hari,
ya?” tanyanya.
“Tidak juga,” jawabku. “Kau? Apa
kau datang ke sini setiap hari?” tanyaku.
“Tidak juga,” jawabnya, dengan
nada yang sama seperti saat aku mengatakannya.
“Lalu, untuk apa kau datang ke
sini?” tanyaku.
“Kau sendiri?” tanyanya.
“Karena kau,” bisikku pelan
sekali. Aku yakin dia tidak mendengarnya karena dia masih memakai earphone dan
dia terlihat menikmati lagu yang sedang ia dengarkan.
Tapi ternyata aku salah, karena
dia menoleh ke arahku, tersenyum, dan mengatakan sesuatu dengan jelas,
“Sepertinya aku juga.”
Aku terdiam menatapnya.
“Key?” katanya sambil menunjuk ke
arah bajuku.
Aku melihat gambar kunci di
T-shirt yang kukenakan.
“Kemarin kau memakai kalung
bergambar kunci, dan sekarang T-shirt mu yang bergambar kunci,” katanya. “Aku
tidak peduli kau suka atau tidak, tapi aku akan memanggilmu Key.”
-=-=-=-=-=-=-=-=-
Sekarang, lagi-lagi aku terdiam
di kamarku. Key. Key. Key. Key. Namaku Kim Kibum. Kim Keybum. Wow, ini masuk
akal juga. Kata ‘key’ dibaca ‘ki’, Kibum. Gadis itu pintar juga.
Dan aku juga suka ketika dia
memaksa untuk memanggilku Key. Dia terlihat seperti gadis yang kuat dan
pemaksa. Aku suka gadis seperti itu. Aku suka gadis yang mempertahankan
keinginannya seperti itu. Dan aku suka gadis itu.
-=-=-=-=-=-=-=-=-
Keesokan harinya, lagi-lagi aku
duduk di taman itu, di waktu yang sama, dan di tempat yang sama. Tak lama
kemudian, gadis itu datang, sama seperti sebelumnya. Dengan earphone di
telinganya dan senyumnya yang sepertinya selalu terpasang di wajahnya.
Dia duduk di sebelahku, menarik
nafas, dan tersenyum lagi. “Hai, Key!”
Aku tersenyum mendengar
panggilannya untukku.
“Hey, aku mau mengatakan sesuatu
untukmu,” kataku.
Dia mengangguk. “Katakan.”
Aku menarik nafas. “Aku
menyukaimu,” kataku pelan.
“Maaf?”
“Kau sudah mendengarnya. Aku tahu
kau mendengarnya,” kataku.
Gadis itu menarik nafas lalu
menatapku. “Kau mengatakan itu... pada seseorang yang namanya saja bahkan kau
tidak tahu?” katanya.
Aku mengangguk. “Nama bukan
syarat untuk menyukai atau mencintai seseorang,” kataku.
Dia tersenyum. “Memang.”
“Dan jawabannya? Aku butuh
jawaban,” kataku.
“Jawaban untuk apa?” tanyanya.
“Untuk pernyataanku tadi. Kalau
aku menyukaimu,” kataku.
“Kukira kau pintar. Masa’ kau
tidak tahu jawabannya?” katanya.
“Kalau kau tidak mengatakannya,
mana mungkin aku tahu,” kataku.
“Aku tidak mengungkapkannya
dengan kata. Aku mengungkapkannya dengan tindakan,” katanya.
“Tindakan? Tindakan apa? Kau
tidak melakukan apapun,” kataku.
“Key, kau harusnya sudah tahu.
Untuk apa aku datang ke taman yang letaknya jauh hanya untuk menemuimu? Untuk
apa aku selalu datang dan duduk di sini kalau aku masih bisa duduk di tempat
lain? Tentu saja karena aku menyukaimu,” katanya.
Aku terdiam. Jadi dia menyukaiku
juga?
“Yeay!” aku bersorak sambil
memeluknya. Dia terlihat kaget pada awalnya, tapi dia langsung tertawa kecil.
“Hey hey hey, jangan senang dulu,
aku masih punya satu permintaan!” katanya.
Aku melepaskan pelukanku dan
menatapnya.
“Permintaan apa?” tanyaku.
“Aku ingin kita bertemu lebih
sering lagi, tidak hanya di taman ini, tapi juga di tempat lain. Dan juga, aku
ingin lebih mengenalmu,” katanya.
“Permintaanmu dikabulkan,”
kataku. “Mulai besok, kita bisa mengobrol lebih banyak.”
Dia tersenyum senang dan bertepuk
tangan pelan. “Kita bukan orang asing lagi kan? Kita bukan... ‘stranger’ lagi
kan?” tanyanya.
“Tentu saja tidak, kau
yeojachingu ku sekarang!” kataku sambil menunduk dan mengecup bibirnya dengan
lembut.
No comments:
Post a Comment